Belajar Nilai Kehidupan dari Sistem Subak dan Filosofi Tri Hita Karana (World Heritage Camp Indonesia 2019)

Hi Everyone!
Aku kembali mendapat kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang hebat di sebuah program bernama "World Heritage Camp Indonesia (WHCI) 2019 di Ubud, Bali. Program ini adalah bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh Kemdikbud RI untuk generasi muda agar mereka lebih memahami, mengenal dan terlibat aktif dalam pelestarian Warisan Budaya Dunia khususnya Indonesia.


Nah, WHCI 2019 memfokuskan pada pengetahuan tentang salah satu Warisan Dunia  kategori Cultural Site yang ada di Indonesia yaitu Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak Sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana (selanjutnya disebut sebagai Sistem Subak). Para peserta mendapatkan kesempatan emas untuk melihat dan mempelajari Sistem Subak secara langsung di Ubud, Bali. Pada tulisan kali ini, aku akan fokus membahas Sistem Subak dan Filosofi Tri Hita Karana. Next time, aku akan share mengenai proses seleksi dan kegiatan sebagai peserta WHCI 2019 ya!

Sebelum membahas Sistem Subak dan Filosofi Tri Hita Karana, ada baiknya kita memahami tentang Warisan Dunia terlebih dahulu terutama untuk situs budaya karena Sistem Subak adalah Warisan Dunia kategori situs budaya (Cultural World Heritage).

TENTANG WARISAN DUNIA
Situs-situs warisan alam dan budaya yang dinobatkan sebagai Warisan Dunia tentunya telah melewati proses seleksi yang sangat selektif dan penuh pertimbangan. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) memberikan status Warisan Dunia kepada situs-situs tersebut karena dinilai memiliki Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value/OUV)

Suatu Warisan Budaya dianggap memiliki OUV bila:
1. Memenuhi salah satu atau lebih kriteria
2. Memiliki integritas dan otentisitas
3. Memiliki sistem perlindungan dan pengelolaan untuk menjamin kelangsungan hidup warisan budaya di  masa depan.

Kriteria Warisan Dunia untuk situs budaya, antara lain:
(i). Melambangkan mahakarya kreativitas dan kecerdasan manusia serta nilai yang berpengaruh secara signifikan terhadap budaya.
(ii). Menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak berubah selama kurun waktu tertentu dalam hal arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan tata kota atau desain lanskap.
(iii). Mengandung kekhasan atau telah mendapatkan pengakuan luar biasa atas tradisi dan ritual peradaban yang pernah ada pada masa lampau baik yang tersisa maupun yang telah hilang.
(vi). Wujud luar biasa dari sebuah bangunan, arsitektural atau teknologi yang menggambarkan tahapan penting dalam sejarah peradaban manusia.
(v). Wujud luar biasa pada sebuah tempat tinggal, tata-guna tanah, atau perairan yang dapat melambangkan budaya atau interaksi manusia dengan lingkungannya, terutama ketika permukiman tersebut menjadi rentan karena dampak perubahan yang terus ada (irreversible).
(vi). Memiliki kaitan yang erat pada suatu peristiwa atau tradisi tertentu, dari sisi pemikiran, kepercayaan, artistik, dan sastra yang memiliki nilai universal yang signifikan.

Ketika sebuah Warisan Dunia memiliki  OUV  maka terdapat konsep universal (universal application). Sehingga Warisan Dunia tidak hanya menjadi milik negara dimana warisan itu berada, tetapi menjadi milik seluruh warga dunia. Dengan adanya konsep tersebut, maka pemeliharaan dan perlindungan Warisan Dunia tidak hanya menjadi tanggung jawab sebuah negara atau warga negara tertentu saja namun harus terjadi kerjasama antar bangsa untuk saling membantu melestarikan Warisan Dunia dan menangani permasalahan yang terjadi pada Warisan Dunia di suatu negara sehingga perdamaian dunia dapat tercapai. 

LANSKAP BUDAYA PROVINSI BALI (SUBAK)
Subak adalah organisasi petani yang mandiri dan demokratis yang berbagi tanggung jawab atas penggunaan air irigasi secara adil untuk menanam padi. Subak mengacu pada lembaga sosial dan keagamaan yang unik. Sistem subak merupakan sistem pengairan pada sawah yang telah ada sejak abad ke-9 di Bali. Sistem Subak memiliki fungsi ganda yaitu Sistem Subak sebagai warisan dunia dan Sistem Subak sebagai sistem pertanian tradisional.

pic: @whci_kemdikbud

Sistem Subak sebagai Warisan Dunia
Sistem Subak dinobatkan sebagai Warisan Dunia karena memiliki Outstanding Universal Value dan telah memenuhi tiga kriteria yang telah ditentukan. Kriteria yang telah disetujui oleh UNESCO antara lain:
Kriteria (iii): Tradisi budaya yang telah mengubah lanskap Bali, sejak abad 12 Masehi, dengan menggunakan konsep filosofi Tri Hita Karana. Salah satunya adalah Jemaat Pura air yang bertujuan untuk mempertahankan hubungan harmonis dengan alam dan spiritual, melalui serangkaian ritual, persembahan, dan seni pertunjukan.
Kriteria (v): Lima lanskap yang termasuk dalam Sistem Subak Bali, merupakan bukti luar biasa dari Sistem Subak. Sejak Abad ke-11 jaringan Pura Air telah berhasil mengairi sawah dengan bentangan seluas DAS (Daerah Aliran Sungai) dan telah memberikan respon yang unik dalam menopang kepadatan penduduk di pulau vulkanik yang hanya ada di Bali.
Kriteria (vi): Pura air di Bali telah lebih dari 1000 tahun menarik inspirasi dari beberapa tradisi agama kuno, termasuk Saivasiddhanta dan  Samkhya Hindu, Buddha Varjrayana dan kosmologi Austronesia. Upacara yang berhubungan dengan kuil dan peran mereka dalam pengelolaan air bersama-sama merupakan bentuk pembuktian nyata filosofi Tri Hita Karana.

Sistem Subak sebagai Sistem Pertanian Tradisional
Pada dasarnya Sistem Subak berfungsi sebagai sistem pertanian yang mengatur tata distribusi air untuk keperluan irigasi persawahan yang didalamnya terkandung kearifan alam dan sosial. Dahulu Subak pasti berbicara tentang air karena secara implisit dengan adanya subak, air bisa dilestarikan di Bali. Selain itu penanaman padi harus ada genangan air, 10 cm sampai 15 cm secara terus menerus dari mulai masa tanam, sistem terasering dari atas sampai bawah yang membuat padi hidup 10 hari sekali pengairannya, dan petakan sawah yang selalu indentik dengan resevoar penyimpanan air. Namun, dengan adanya Subak Abian, sistem subak tidak lagi selalu bebicara tentang air karena Subak Abisan tidak mengatur air. Subak Abian adalah kelompok petani perkebunan yang mengelola lahan kering di Bali.

Subak Pulagan
Pada hari ke-empat kegiatan WHCI 2019, kami berkesempatan untuk mengunjungi salah satu Subak yang menjadi Warisan Dunia yaitu Subak Pulagan di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Subak Pulagan merupakan pengairan tradisional bidang pertanian yang sangat bersejarah. Subak ini dibangun pada zaman keemasan Dinasti Warmadewa ketika memerintah Bali abad ke-10 dan ke-11. Subak tersebut langsung mendapatkan air irigasi dari mata air yang ada dikawasan Pura Tirta Empul.
pic: @whci_kemdikbud
Salah satu pemateri, Prof. Dr. Wayan Windia mengatakan bahwa Sistem Subak tetap existed di Bali dikarenakan topografi Bali yang miring. Air yang menjadi sumber kehidupan alam di Bali bersumber dari danau yang ada di puncak tanah Pulau Bali. Tanpa ada danau di puncak Pulau Bali, maka tidak akan ada kehidupan Sistem Subak seperti sekarang ini. Selain itu, Subak memiliki empat komponen penting yaitu: sumber air, petani, sawah, dan pura subak. Komponen tersebut harus ada di dalam Sistem Subak dan saling berkesinambungan. Namun ada beberapa tantangan yang bisa mempengaruhi eksistensi Subak saat ini, antara lain:
1. Tingginya pajak
2. Rendahnya income petani
3. Air irigasi yang direbut sektor lain
4. Kualitas air irigasi yang menurun
5. Perubahan iklim
6. Alih Fungsi Lahan
7. Rendahnya minat generasi muda untuk terjun dalam pertanian

Menurut Pekaseh Subak Pulagan Bapak Nyoman Astika, Subak semakin terhimpit dikarenakan maraknya alih fungsi lahan. Hal ini menyebabkan menyusutnya lahan pertanian. Tentu saja ini bisa mengancam ketahanan komunitas Subak itu sendiri. Totalnya ada 25 Subak yang terkena alih fungsi lahan, yaitu 800 Ha per 75.000 Ha/tahun. Selain itu, minat generasi muda yang sangat rendah juga sangat berpengaruh pada eksistensi Subak kedepannya, karena generasi muda adalah generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat melestarikan Sistem Subak ini sampai di masa yang akan datang.

TRI HITA KARANA 

Tri Hita Karana (tiga unsur sumber kebaikan) adalah falsafah hidup orang Bali. Falsafah ini mengajarkan tiga unsur penyebab terciptanya kebahagiaan yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). Falsafah ini mengajarkan kepada kita bahwa selama hidup di dunia, manusia harus selalu bersyukur dan mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada Tuhan karena telah bernaung di dalam perlindunganNya. Kita juga harus membina hubungan dengan manusia lainnya karena kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain. Dan yang terakhir, manusia tidak bisa hidup tanpa alam semesta. Oleh karena itu manusia harus menjaga dan menghargai alam sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupannya. Prinsip pelaksanaan falsafah Tri Hita Karana harus seimbang dan selaras antara satu sama lain agar terciptanya hidup yang seimbang, tenteram dan damai. 

PERWUJUDAN FILOSOFI TRI HITA KARANA DALAM SISTEM SUBAK
Tri Hita Karana memberi makna spiritual bagi tata kelola sawah terasering melalui lembaga subak dan pura subak. Ada sebuah hukum/peraturan tradisional tertulis mengenai sistem subak bernama Awig-awig yang menuangkan ke-tiga aspek penting Tri Hita Karana kedalamnya yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan. Awig-awig juga mengatur tentang hak dan kewajiban dari anggota subak. Adapun implementasi Tri Hita Karana dalam sistem subak adalah sebagai berikut:

1. Hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan)
Setiap subak pasti memiliki satu atau beberapa pura yang dibangun untuk mengadakan ritual upacara keagamaan dan sembahyang terkait aktivitas pertanian, yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok.

2. Hubungan manusia dengan manusia lainnya (Pawongan)
Subak dikelola dengan sistem gotong-royong berupa organisasi terstruktur. Ada tiga jenis keanggotaan/krama Subak yaitu Krama Aktif, Krama Pasif, dan Krama Luput. Krama aktif terdiri dari Kepala Subak (Pekaseh), Wakil Kepala Subak (Petajuh), Sekretaris (Penyarikan), Bendahara (Petengen), Juru Arah (Kasinoman), dan Penanggung Jawab Ritual Keagamaan (Pemangku). Krama Pasif merupakan anggota Subak yang tidak mengikuti aktivitas keseharian Subak, namun rutin membayar retribusi. Sedangkan Krama Luput merupakan anggota Subak yang tidak dapat mengikuti aktivitas keseharian Subak akibat adanya tanggung jawab lain, seperti bertugas sebagai kepala desa. Akan diadakan rapat-rapat untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan pertanian seperti kapan harus menanam, dimana mendapatkan bibit, dan berapa iuran yang harus dibayarkan. Setiap anggota harus memiliki satu kepentingan.

3. Hubungan manusia dengan alam (Palemahan)
Dalam Sistem Subak penggunaan lahan dilakukan secara efisien dengan mengutamakan aspek kelestarian lingkungan. Masyarakat secara bersama-sama melakukan pemeliharaan bangunan dan sistem irigasi air. Dan terdapat one inlet and one outlet irrigation system yaitu setiap blok sawah milik petani memiliki satu sarana air untuk masuk dan satu sarana air untuk keluar sehingga para petani mampu mengelola air irigasi dengan baik. Sistem ini memberikan manfaat bagi para petani, contohnya adalah para petani bisa meminjamkan airnya kepada petani yang membutuhkan asalkan ada izinnya. Dengan cara petani yang meminjamkan menutup inlet dan membuka outlet nya sehingga air akan mengalir kepada petani lain yang membutuhkan. Tidak ada bayaran atau kompensasi dari sistem pinjam-meminjam ini. Ini merupakan implementasi Tri Hita Karana dalam sistem Subak.

Sekian yang bisa aku share ke kalian :)
Aku berharap ilmu yang kudapatkan dalam kegiatan WHCI 2019 bisa sampai kepada kalian dengan baik. Bagiku pribadi, mengenal Sistem Subak beserta Filosofi Tri Hita Karana telah menuntunku untuk melihat hidup dari sisi yang berbeda. Hidup bukan semata-mata tentang kekuasaan dan materi. Hidup adalah tentang harmoni. Bagaimana kita bisa menjaga harmoni yang indah dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan alam semesta. Sistem Subak yang adil juga mengajarkanku untuk menghilangkan egoisme dan lebih meningkatkan kesadaran untuk bekerja secara sosial dan saling tolong-menolong. Aku belajar banyak nilai kehidupan dari Sistem Subak dan Filosofi Tri Hita Karana. And the most important thing is.. Let's preserve The World Heritage !!

pic: @whci_kemdikbud


Daftar Referensi:
Kemdikbud RI. Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana dalam Sistem Subak Bali sebagai Warisan Dunia. Retrieved from https://kniu.kemdikbud.go.id/?p=3776
Wikipedia. Tri Hita Karana. Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Hita_Karana
GenAgraris. Subak, Sistem Pertanian yang Menjaga Keseimbangan. Retrieved from https://www.genagraris.id/see/subak-sistem-pertanian-yang-menjaga-keseimbangan
Windia, Wayan. Water and Subak Irrigation System in Bali. Udayana University. Bali. Retrieved from https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/c184193f6784d1da690e998ce7fb36f6.pdf






Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

My First MUN Experience (Asia Youth International MUN 2019)

Unprepared doesn't Mean Unmotivated